DPP LDII: Boikot Bisa Sadarkan Prancis, yang Terpenting Setelah Itu Adalah…
Jakarta (3/11). Presiden Prancis Emmanuel Macron mendapat kritikan keras dari dunia Islam. Orang nomor satu di Prancis itu, berkukuh tak akan melarang Charlie Hebdo menerbitkan kartun bergambar Nabi Muhammad. Karena tindakan Marcon tersebut, Prancis kini dikecam oleh umat muslim di berbagai belahan dunia.
Bahkan, gerakan untuk memboikot produk asal Prancis juga sudah dilakukan oleh perorangan maupun secara lembaga di berbagai belahan dunia. Macron mengklaim tindakannya merupakan dukungan terhadap kebebasan berekspresi di Prancis. Kebebasan berekspresi itupula yang mengakibatkan Samuel Paty, seorang guru yang tewas pada 16 Oktober, setelah memperagakan kartun Nabi Muhammad di kelasnya. Ia dipenggal oleh muridnya Abdullakh Anzorov.
“Islam menolak kekerasan dan menyayangkan tindakan yang dilakukan Abdullakh Anzorov. Tapi kebijakan Macron yang memperbolehkan kartun mengenai Nabi Muhammad kami kecam,” ujar Ketua DPP LDII Chriswanto Santoso. Menurutnya, boikot terhadap produk-produk Prancis bisa menjadi pelajaran bagi negeri itu, jangan sampai karena kebebasan berekspresi kemudian menghina agama lain.
Chriswanto menuturkan, pada 2015 lalu, sebuah televisi swasta menayangkan Paus Fransiskus yang mengumpamakan agama sebagai ibu, “Paus mengatakan, kalau seseorang menghina ibu saya, pasti saya pukul. Demikian pula bila menghina agama saya. Saat itu, Paus di depan para wartawan memperagakan meninju lengan pengawalnya,” ujar Chriswanto. Artinya, dalam dunia Kristen pun, menghina agama lain juga dihindari, meskipun dengan dalih kebebasan berekspresi.
Menurut Chriswanto, umat Islam sebaiknya bereaksi secara positif terhadap kebijakan Macron dan pemerintah Prancis, “Jangan melakukan unjuk rasa dengan kekerasan, tapi mari membangun kemandirian dan membangun SDM. Serta memperkuat ekonomi syariah. Bila tiga hal itu dilakukan, kita menjadi bangsa yang mandiri dan tak bergantung produk Prancis, bahkan negara lain,” tegas Chriswanto.
Menurut Chriswanto, dengan kemandirian dan menyiapkan SDM yang andal di segala bidang, ketergantungan Indonesia terhadap Prancis atau negara-negara lainnya bisa berkurang. Neraca perdagangan bisa dijaga agar seimbang, bahkan selalu surplus. Dengan begitu, Indonesia bisa menjadi negeri yang makmur.
Senada dengan Chriswanto, anggota Dewan Pakar DPP LDII di bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan Arief Iswanto mengatakan kemandirian, terutama di bidang pangan masih menjadi problematika di Indonesia, “Kemandirian pangan itu penting, karena tantangan pada masa depan adalah kelangkaan pangan,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia dengan luas 1,9 juta kilometer persegi, masih menjadi importir pangan dan produk turunannya, “Selama ini, kebutuhan pangan nasional hanya memperlihatkan data secara umum. Padahal bila dihitung kebutuhan pangan per provinsi, kita bisa menemukan angka produksi dan kebutuhan pangan masyarakat,” ujar Arief.
Menurut Arief, saat ini, penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa, dengan konsumsi per kapita per tahun berturut-turut, 140 kg beras dan 2,85 kg daging sapi. Dengan data tersebut dapat dihitung pola konsumsi rakyat Indonesia. Bahkan, jika semua mengkonsumsi kedua bahan pokok tersebut, diperlukan masing-masing per tahunnya kurang lebih 32,4 juta ton beras dan sekitar 769.500 ton daging sapi.
“Bila dikalkulasi, untuk mencukupi kebutuhan beras seluruh penduduk Indonesia hanya diperlukan luas sawah sekitar 84.000 kilometer persegi atau 8.400.000 hektar. Perhitungannya, dengan asumsi per hektar sawah menghasilkan 4.500 kg beras. Maka, rinciannya untuk 270 juta penduduk Indonesia memerlukan 270 juta dikalikan 140 kg, akan didapat angka 32,4 juta ton beras, setara kebutuhan areal persawahan 8.400.000 hektar atau identik dengan 84.000 kilometer persegi,” ujar Arief.
Menurutnya, dengan luas daratan Indonesia yang 1,9 juta kilometer persegi, secara teknis tidak mustahil kemandirian pangan bisa diwujudkan. Sebab, angka luasan tersebut, hanyalah 4,47 persen dari luas total daratan Indonesia — bandingkan areal subur Indonesia 12 persen.
Arief mengemukakan, dengan Bila jumlah penduduk dan kebutuhan pangan terdata dengan baik, setiap provinsi bisa secara mandiri memenuhi kebutuhan pangannya. Bahkan, antar provinsi bisa bekerja sama saling mensubsidi. Bahan pangan pokok yang khas di suatu provinsi, semisal jagung dan sagu bisa ditingkatkan produksinya dengan lahan yang tersedia.
“Dengan begitu Indonesia tak perlu mengimpor jutaan ton beras setiap tahun, karena setiap provinsi bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri-sendiri. Bahkan bila berlebih secara nasional, bisa diekspor ke negara lain,” ujar Arief.
Masalah yang sama juga terjadi dalam hal konsumsi daging sapi – yang belakangan menjadi gaya hidup dengan mengudap daging impor. Secara teknis, Indonesia sangat mampu memenuhi kebutuhan daging sapi tanpa harus impor. Dengan asumsi sapi diternak secara keraman (dikandangkan).
“Maka seekor sapi memerlukan ruang hanya 3 meter persegi, dengan estimasi per ekor sapi menghasilkan 300 kg daging dan kebutuhan daging sapi per kapita per tahun 2,85 kg. Dengan hitungan tersebut, untuk mencukupi kebutuhan daging masyarakat Indonesia per tahunnya, hanya dibutuhkan luasan areal 7.695 kilometer persegi, tidak lebih dari 0,40 persen dari luas wilayah NKRI,” ujarnya.
Menurut Arief, untuk kemandirian pangan, LDII membangun proyek percontohan berupa sawah organik dengan membangun demplot di Rawagabus di Karawang (Jawa Barat) dan Pulau Laut di Kalimantan Selatan. LDII juga mengembangkan peternakan percontohan di Sukamulia – Sukamakmur, kabupaten Bogor.
sumber : ldii.or.id